TRADISI HUKUM CHTONIC
Chtonic berasal
dari terma Yunani khthõn atau khthõnonos yang berarti bumi.
Didalam bab ini kata Chtonic digunakan untuk menyebut tradisi adat yang
dipercayai telah hidup sejak awal terbentuknya masyarakat asli digugusan
kepulauan Nusantara, hidup dengan cara chthonic berarti hidup yang dekat dengan
bumi. Mendeskripsikan tradisi hukum
Indonesia sebagai hukum chtonic
Indonesia dengan demikian sekedar usaha untuk memotret hukum asli
masyarakat dalam wilayah ini sebagai hukum yang lahir dari bumi Indonesia dan
bukan dari luarnya. Karena itu kita akan memahami hukum asli daerarah itu dari
kriteria-kriteria internal masyarakat asli Indonesia itu sendiri.
PROBLEM DEFINISI
Ungkapan adat
sering diartikan sebagai custoom atau hukum kebiasaan, adat sendiri
diambil dari bahasa Arab ‘adah atau ‘urf (Inggris: custom: Perancis:
custume). Kompleksitas disini pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga
aspek. Pertama, istilah adat bisa diartikan sebahgai hukum, atauran ataupun
kebiasaan, namun secara umum mempunyai arti yang sama yaitu tingkah laku yang
dipandang benar dalam kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan orang lain
maupun dengan alam sekitar. Kedua, istilah adat secara spesifik kadang
digunakan untuk hubungan praktek yang berlaku di wilayah tertentu dengan area
yang cukup luas. Ketiga, adat sebagai kumpulan literatur dari dan tentang adat
yang diproduksi para ahli.
Snouck Hurgronje
mengatakan bahwa bagi sebagian orang adat istiadat mempunyai makana sebagai
“keseluruhan hukum dari masyarakat terdahulu maupun kebisaan yang disusun oleh
para tertua yang berbeda dengan apa yang disusun oleh generasi kemudian dan
berbeda dari adat yang bisa dirubah.
Kusumadi Pudjosewojo, disisi lain berusaha untuk memahami terma adat ini
dari perspektif perannya yang lebih aktual dalam proses kreasi hukum yang
berlangsung dalam masyarakat. Berbeda dengan Pudjosewojo, Hazairin lebih
mengkaji adat dari dimensi etika. Menurutnya adat tidak lain adalah sedimen
etika dalam masyarakat.
Berbeda dari
beberapa tokoh diatas, Moh. Koesnoe mendefinisikan adat esensinya adalah
keseluruhan ajaran nilai dan implementasinya yang mengatur cara hidup
masyarakat Indonesia, dan yang telah lahir dari konsep masyarakat tentang
manusia dan dunia ini. Van Vollehoven memberitakan bahwa orang Minangkabau juga
menggunakan istilah limbago sejajar dengan adat yaitu untuk aturan yang
tidak mengikat masyarakat dan untuk yang mengikat masyarakat. Menurut Van,
orang Batak Karo juga menggunakan istilah basa atau bicara daripada adat untuk
menunjukkan sesuatu yang sopan. Terlepas dari perbedaan ini, masyarakat secara
konstan menggunakan terma adat untuk mengidentifikasi elemen hukum yang lahir
dari praktek masyarakat terdahulu, yang berbeda dari terminologi agama di Jawa,
hoekoem di Aceh dan gayo dan Hoekoem Agama di Sumatra Selatan yang digunakan
istilah hukum yang didasari pada sjsran agama.
Di Minangkabau,
adat secara umum dibagi menjadi dua yaitu adat sabana adat dan adat non-sabana
adat. Yang pertama digunakan untuk adat yang absolut dan universal,
sebagian orang mengatakan adat ini berisi hukum alam. Adat non-sabana adat
dikelompokkan menjadi 3 kriteria yaitu:
-
Adat istiadat,
adat istiadat adalah apa yang disebut dengan kebiasaan.
-
Adat nan
teradat, adalahkebiasaan yang dilakukan terus-menerus.
-
Adat nan
diadatkan, adalah suatu kebiasaan yang dapat berubah menurut waktu dan
tempatnya.
Mengikuti penemuan Koesnoe, orang sasak juga membedakan antara
terma adat dan cara, adat bermakna petunjuk kehidupan sedangkan cara bermakna
metode untuk mengaplikasikan petunjuk tersebut. Menurut pemahaman yang sama
pula orang-orang Jawa juga menggunakan kata adat sebagai “petunjuk kehidupan”
sedangkan cara untuk menujuk kepada sisi prosedur untuk mempraktekan petunjuk
itu. Secara etimilogis, adat digunakan untuk menyebut norma yang mengikat dari
suatu masyarakat tertentu yang mengatur fase kehidupan seseorang dalam suatu
msyarakat.
POLEMIK ADAT SEBAGAI HUKUM
Didalam masyarakat Barat, hukum adat terasa tidak diterima, hal itu
dikarenakan adanya pola pikir yang berbeda dengan orang Indonesia. Sejak era
Pencerahan (Enlighment), masyarakat Barat pada umumnya cenderung melihat hukum
hanya pada segi Legilasi dan Presiden yang diturunkan dari sumber tertulus
saja.
Adat pada esensinya dipahami sebagai suatu norma yang mengikat dan
dipelihara di dalam masyarakat, hal ini setidaknya didasari dengan dua hal.
Pertama, masyarakat memahami adat sebagai suatu norma yang berhubungan dengan
seluruh kehidupan manusia. Kedua, terminologi adat digunakan untuk membedakan
antara hukum asli dengan nilai-nilai hukum yang dibawa oleh agama. Munculnya
terminologi “ hukum adat” (adat law dalam bahasa Inggris) atau adatrech
dari bahasa belanda (Snouck Hurgronje), hal itu disebabkan karena kebingungan
para ahli Belanda ketika melihat fenomena adat ini.
Termonologi tersebut kemudian dikembangkan oleh Van Vollenhoven dan
Ter Haar-lah sebagai terminologi adat yangdapat disebut sebagai hukum. Dengan
menggunakan pendekatan positivistik Austinian mendefinikan hukum sebagai suatu
aturan atau perintah umum yang dikeluarkan oleh seorang penguasa dalam negara
yang merdeka, serta disertau sanksi. Jika Van secara konsisten menekankan teori
pada eksistensi sanksi maka Ter Haar lebih mengikuti teori kekuasaan.
Baik teori Van Hoven maupun Ten Haar, menyatakan bahwa tidak semua
adat dapat dikatakan mempunyai karakter sebagai hukum. Beberapa bagian darinya
memiliki kandungan hukum sehingga dapat disebut sebagai hukum, sedangkan bagian
lainnya hanya berupa kebiasaan saja. Selain kedua sarjana Barat tersebut,
Adamson Hoebel mendeskripsikan hukum atas dasar norma sosial dalam masyarakat
sosial. Menurutnya, norma sosial tersebut bersifat legal apabila jika terjadi
pelanggaran terhadapnya maka akan dibalas berupa ancaman atau sanksi oleh orang
atau kelompok yang memiliki otoritas untuk melakukannya. Gagasan Hoebel secara
jelas merefeksikan ide positivism hukum bahwa terdapat kelompok tertentu yang
mempunyai hak untuk mengaplikasikan sanksi terhadap pelanggar norma. Di sisi
lain, Elias memahami terma hukum sebagai suatu kewajiban dalam masyarakat
tertentu. Menurutnya, hukum adalah sistem aturan yang dipandang sebagai
kewajiban oleh masyarakat tertentu. Sehingga, sepanjang ia dipandang sebagai
kewajiban oleh masyarakat, maka ia adalah hukum.
Di selanjutnya, sarjana Indonesia seperti Djojodigoeno mengemukakan
bahwa dalam memahami hukum adat, manusia harus dapat membedakan antara dimensi
formal dengan dimensi material. Dalam dimensi formal, hukum adat disebut
sebagai hukum tidak tertulis. Akan tetapi, meski tidak tertulis, hukum adat
berbentuk keputusan-keputusan para fungsionaris adat. Sedangkan dimensi
material hukum adat adalah system norma yang mengekspresikan keadilan dalam
sosial masyarakat. Gagasan Djojodigoeno tersebut mempengaruhi pemikiran sarjana
Indonesia lainnya, seperti Koesno. Koesno dalam teorinya merefleksikan bahwa
hukum adat merupakan bagian dari adat yang oleh masyarakat dipikirkan sebagai
sesuatu yang adil dan pantas dalam kehidupan sosial mereka. Teori Koesno
tersebut tampaknya banyak dipengaruhi oleh teori Hazairin tentang adat sebagai
sedimen etis yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Dari penjabaran atas pemikiran sarjana Barat dengan sarjana
Indonesia di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran keduanya mengenai hukum
adat berbeda, seperti pertentangan filosofis antara positivism dengan hukum
alam. Di mana pemikir Barat umumnya menganalisis hukum adat dari segi
normatifnya saja, sedangkan pemikir Indonesia memaknai hukum adat dengan
memberi penekanan terhadap hukum alam.
KARAKTERISTIK HUKUM ADAT
Karakteristik hukum adat antara lain:
1.
Pada umumnya,
hukum adat tidak tertulis. Penyampaiannya melalui lisan ke lisan.
2.
Praktik hukum
bersifat fleksibel namun prinsip hukumnya bersifat rigid/tetap.
3.
Pemangku adat
memiliki tugas fungsioner sebagai penjaga dan penerjemah hukum adat.
4.
Antara individu
dan masyarakat tidak dapat dipisahkan.
5.
Hukum selalu
terkait dengan alam dan berfungsi untuk menjaga harmoni antara manusia dan
alam.
6.
Terdapat
kepercayaan hubungan antara agen material dan agen spiritual.
Hukum adat merupakan hukum yang dinamik dalam hubunganya dengan
masyarakat. Dengan demikian, karena eksistensi hukum adat esensinya berurat
berakar pada rasa keadilan masyarakat, karakter hukum didalam memgikuti
pemikiran rakyat dalam kasus-kasus tertentu. Hukum adat dideskripsikan sebagai
hukum yang selalu mengalir, menggambarkan kepermanenan dan perubahan dari
aliran air. Mengkarakterkan hukum adat laksana air disini sangat sesuai karena
ia menggambarkan bagaimana orang berpikir tentang hukum itu sendiri. Jika hukum
harus sesuai dengan perubahan sosial maka ia harus secara konstan mengalir,
seperti aliran sungai. Dan dalam waktu yang sama, aliran itu tidak berubah,
konstan.
Sifat dasar hukum adat sebagai hukum yang tidak kebal dari segala
bentuk perubahan dan perkembangan memberi akibat kepada sikap yang positif
kepada tradisi hukum lain yang muncul dalam masyarakat. Seperti halnya tradisi
hukum chothonic pada umumnya, hukum adat pada esensinya merupakan tradisi yang
terbuka sehingga memungkinkan adanya pertukaran antara hukum adat dan hukum
lain.
Masyarakat memandang hukum adat dan hukum agama sebagai tradisi
yang berasal dari akal yang sama sehingga keduanya memiliki misi yang sama
didunia ini yaitu untuk mempromosikan nilai-nilai kebaikkan dan memberantas
kemungkaran. Kedua trdisi hukum tersebut memiliki beberapa perbedaan dalam
aspek-aspek subtantif, keduanya dipercayai memiliki kepentingan yang sama dalam
masyarakat. Karena itu kita melihat dalam masyarakat minangkabau, misalnya,
masyarakat mempertahankan nilai-nilai agama mereka sementara dalam waktu yang
sama juga menaati hukum adat. Hal ini karena refleksi dari kepercayaan mereka
bahwa adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Ringkasnya, karakter umum dari hukum chothonic sebagai tradisi
hukum yang terbuka terbukti menjadi asset yang terbaik bagi adat dalam
memastikan hubungan positif dengan hukum yang lain yang di introdusir dari luar
ASPEK SUBSTANTIF DALAM HUKUM ADAT
Peran yang dimainkan oleh para pejabat adat dalam memberikan penjelasan-penjelasan
praktis dari semua prinsip-prinsip memanglah penting untuk mengaplikasikannya
dalam kehidupan keseharian. Dan di sinilah mengapa
kita mendapatkan prinsip-prinsip itu diformulasikan dalam kata yang artistik
dan didaktik sehingga sebagian besar orang cenderung untuk membaca dan
mempelajarinya. Prinsip tersebut sebagian besar berbentuk cerita, sajak,
petuah, puisi, atau nasehat secara konsisten diturunkan dari satu generasi ke
generasi yang lain. Untuk mempertahankan “alunan melodi adat” tersebut.
Kemudian
hubungan internal dari seluruh bagian komunitas lebih dari artinya sebagai
hubungan organik yang diperluas faktor
lingkungan yang berada didalam dan darimana masyarakat mendapatkan kehidupan
dan kepercayaan kepadan kebersatuan dunia material dan spiritual merupakan
bagian dari hukum adat, dank arena itulah adat mampu mengakomodasi
faktor-faktor sacral dalam kehidupan ini. Karakter yang sakral dari hukum adat
sebagian besar terekspresikan dalam penerimaannya terhadap sanksi yang dapat
ditimpakkanoleh arwah para leluhur ataupun kekuatan ghaib.
Dalam
keadaan seperti itu, maka tidak dapat
dipungkiri bahwa tugas utama dari adat adalah untuk menyelamatkan keseimbangan
kehidupan soSial dan individual dari masyarakat, dan ketika ia dilanggar, maka
hukum akan mengembalikkan keberaturan dari kehidupan masyarakat tersebut,
yang dengannya kondisi keseimbangan akan
tercapai kembali.
Ekstensi individu tidak pernah dipisahkan
dari masyarakat dalam satu tempat dan waktu tertentu.
Inilah konsep pandangan hidup komunal yang menjadi karakter dari adat, dan yang
berbeda sedemikian mencolok dengan tradisi individualistik masyarakat barat dan
inilah letak rahasianya, nilai itu dipertahankan lewat tradisi untuk
memperlakukan seseorang dengan adil.
Prinsip
utama dari saling ketergantungan masyarakat dalam adat adalah pemahaman bahwa
setiap individu wajib untuk mengorbankan dirinya demi kebaikan semua orang atau
solidaritas sosial. Hak-hak individu karenanya menjadi nomor dua setelah
kewajibannya untuk berkorban demi masyarakat. Dilihat dari sisi ini, hukum adat
dapat didefinisikan dengan jelas sebagai sebuah sistem yang menempatkan
kewajiban diatas hak dan tidak sebaliknya.
Mengenai
Hukum tanah, karena tanah merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan
masyarakat, hukum adat memberikan aturan secara detail mengenai hak-hak yang
bersangkutan dengannya. Dan disini jelas bahw, hukum tanah adat tidak mengakui
adanya hak kepemilikan individual
sebagai sesuatu yang inheren dan normal, tetapi lebih sebaagai sesuatu yang berasal
dari pengakuan masyarakat terhadap kemampuan dan jasa seseorang dalam
penggarapan tanah tersebut.
Namun begitu, walaupun hak komunal
terhadap tanah dijunjung tinggi, tidak berarti hukum adat tidak menghormati hak
individual. Beberapa hak individual terhadap tanah justru dipandang sebagai
sesuatu yang sah dalam adat, diantaranya hak untuk memiliki, menggunakan,
menemani, menyewakan, menjanjikan dan memperjualbelikan.
Hukum perkawinan. Perilaku yang umum untuk
mempertahankan sikap hidup komunal dapat ditemui dalam hukum adat tentang
perkawinan. Idenya disini adalah bahwa perkawinan berfungsi tidak hanya untuk
memastikan kontinuitas ras manusia tetapi juga keberlangsunag masyarakat itu
sendiri. Tanpa adanya perkawinan kehidupan
masyarakat akan runtuh sebab pada akhirnya tidak aka nada seorangpu yang
tersisa untuk melanjutkan tradisi-tradisi yang ada dalam masyarakat.
Didalam keluarga, perkawinan
seseorang dilihat dalam adat sebagai sarana untuk melanjutkan peran sosial dari
orang tua, karena tanpa adanya anak cucu maka keturunan mereka dan karenanya
kontribusi mereka dalam pengembangan masyarakat menjadi tidak ada. Melalui
perkawinan pula dengan orang dari klan yang berbeda, maka rekonsiliasi
antarkelompok yang bermusuhan dalam banyak kasus akan dapat dilakukan.
Dan soal Hukum kewarisan, tidak
terpisahkan pula dari aspek hukum perkawinan adalah aspek kewarisan dalam hukum
adat., dimana prinsip keseimbangan dan harmoni secara jelas terefleksikan
prinsip-prinsip kehidupan yang muncul dari pemikiran komunal, dimana keluarga,
sebagaimana kita lihat diatas, menjadi komponen inti salam suatu masyarakat.
Pemahaman terhadap hukum kewarisan adat pada umumnya bersifat konsisten.
Karakter yang paling umum dalam hal ini
adalah kenyataan bahwa kewarisan adat tidak tergantung pada kematian
orangtua untuk keberlangsungannya. Ketentuan ini tampaknya yang paling
membedakan hukum kewarisan adat dengan tradisi kewarisan lainnyaa, karena umunya
kewarisan itu dimulai dari adanya kematian dari orangtua itu sendiri. Disinilah
karenanya transfer harta warisan itu pada dasarnya dilihat sebagai sarana untuk
mempertahankan harmoni dan keseimbangan dalam bubungan keluarga.
Mekanisme dari hukum kewarisan adat
tidak melibatkan inti perhitungan teknis dan matematis karena pada intinya akan
menerima bagian yang sama tanpa pembedaan faktor usia, gender, agama ataupun
lainya. Sepanjang mereka berasal dari
satu rangkaian genealogis yang sama, pengalihan yang vertikal terhadap hak
milik secara prinsip dilakukan.
sumber: Ratno Lukito "Tradisi Hukum Indonesia, BAB I "